Oleh: Muhammad Rafi, S.Ag – Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru

Pernikahan merupakan salah satu tahap dari rangkaian perjalanan hidup yang ditunggu oleh hampir setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Pernikahan adalah norma turun-menurun yang ada di seluruh kebudayaan manusia sepanjang sejarah. Terkhusus bagi masyarakat Indonesia, pernikahan ialah proses pengikatan janji suci antara laki-laki dan perempuan.
Secara etimologi (bahasa), nikah berasal dari bahasa Arab al-dhammu yang berarti “berkumpul.” Sedangkan menurut terminologi fikih (istilah syariat), akad yang menyimpan makna diperbolehkannya hubungan intim (antara suami-istri) dengan menggunakan lafaz nikah atau sejenisnya. Dengan kata lain, pernikahan adalah dasar hukum yang melegalkan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan (Fathul Wahab, 2: 54).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pernikahan adalah penyatuan dua insan (laki-laki dan perempuan) melalui akad yang menjadi dasar kebolehan penyatuan. Menurut ulama mazhab Syafi’i, hukum asal menikah adalah sunnah atau anjuran sebagaimana pernyataan Imam Nawawi, “perintah menikah dalam Al-Qur’an bermakan anjuran, bukan wajib. Pandangan ini disetujui oleh mayoritas ulama” (Syarah Shahih Muslim, 9: 173).
Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur [24] ayat 32).
Berkenaan dengan ayat di atas, Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an al-Azhim (6: 51) bahwa QS. An-Nur [24] ayat 32 berisi perintah untuk menikah. Perintah ini – menurut sebagian ulama – bersifat wajib bagi orang yang telah mampu melaksanakannya. Pandangan tersebut didasarkan pada hadis nabi Muhammad saw yang menyeru para pemuda apabila telah mampu hendaknya segera menikah.
Hukum Menikah Tergantung Keadaan dan Niat Pelaku
Kendati hukum asal menikah menurut mayoritas pendapat ulama adalah sunah atau anjuran, namun jika ditinjau berdasarkan keadaan dan niat pelaku (calon pengantin), maka hukum nikah terbagi kepada lima (5) macam, yaitu: wajib, sunah dilakukan, lebih baik ditinggalkan, makruh, dan haram (Fath al-Mu’in: 44-46). Penjelasan masing-masing hukum dapat dilihat dalam deskripsi berikut:
- Wajib menikah
Hukum nikah yang pertama adalah wajib. Kewajiban nikah diperuntukkan bagi orang yang memiliki kemampuan untuk menikah dan punya keinginan kuat untuk menyalurkan gairah seksualnya (tidak bisa ditahan-tahan lagi) sehingga dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam kemaksiatan. Kemampuan menikah maksudnya mampu untuk memberikan nafkah, yang terdiri dari mahar, sandang, pangan dan papan. Jika seseorang berada pada posisi ini, maka ia wajib menikah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
- Sunah menikah
Hukum nikah yang kedua adalah sunah. Kesunahan nikah diperuntukkan bagi orang yang memiliki kemampuan untuk menikah, mau, dan punya keinginan untuk menyalurkan gairah seksualitas, namun tidak sampai pada taraf dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam kemaksiatan. Jika seseorang berada pada posisi ini, maka ia disunahkan untuk segera menikah.
- Lebih baik ditinggalkan
Hukum nikah yang ketiga adalah lebih baik ditinggalkan. Hukum ini berlaku bagi orang yang berkeinginan untuk menyalurkan gairah seksualitas namun tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi. Orang yang berada pada posisi ini sebaiknya menunda keinginan menikah hingga ia mampu. Adapun gairah seksualitasnya bisa dikurangi dengan berpuasa atau berolahraga dengan rutin.
- Makruh menikah
Hukum menikah yang keempat adalah makruh. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak menginginkan nikah, entah karena perwatakannya demikian, ataupun karena suatu penyakit. Pada saat yang sama, ia juga tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jika dipaksakan menikah, dikhawatirkan ia tidak dapat menunaikan hak dan kewajibannya dalam pernikahan atau bahkan malah dapat merugikan pasangannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Haram menikah
Hukum menikah yang kelima adalah haram. Keharaman nikah berlaku bagi orang yang menikah dengan tujuan menyakiti atau tujuan-tujuan lain yang melanggar ketentuan agama. Misalnya, jika ada orang yang berkeinginan kuat (berniat) untuk menyakiti dan menyiksa pasangan dalam pernikahan, maka ia diharamkan untuk menikah.
Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa hukum menikah tergantung keadaan dan niat pelaku (calon pengantin). Keadaan dan niat ini dapat ditinjau dan diresapi oleh masing-masing individu. Dalam konteks Indonesia, kemampuan untuk menikah ini biasanya dimiliki setelah menamatkan SMA dan mempunyai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan harian (usia kisaran 19-25 tahun). Terakhir, berkenaan dengan ragam hukum menikah, sebaiknya orang tua memperhatikan situasi dan kondisi anak-anaknya yang hendak menikah, apakah sudah memenuhi syarat atau belum? Pada hakikatnya menikah adalah sebuah ibadah yang di dalamnya terhadap hak dan kewajiban. Oleh karena itu, kemampuan diri, baik secara fisik maupun psikis, mutlak diperlukan agar tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Wallahu a’lam.
Discussion about this post