Penulis Oleh : Penyuluh Agama Islam (Taufik Kurahman)

Pernikahan merupakan ikatan suci antara dua insan: suami dan istri. Karena kesuciannya, diperlukan aturan-aturan dalam bergaul di dalam rumah tangga. Salah satu aturan tersebut berupa kewajiban dan hak bagi masing-masing pihak. Kewajiban suami berarti hak bagi istri. Dan sebaliknya, kewajiban seorang istri berarti menjadi hak bagi suaminya.
Ketentuan-ketentuan berumah tangga banyak diatur dalam Alquran, terlebih dalam hadis Nabi. Banyak hadis yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam rangka memberikan arahan agar hubungan suami-istri berjalan harmonis. Salah satu hadis yang mengatur interaksi suami-istri adalah hadis yang menjelaskan bahwa seorang istri tidak diperbolehkan berpuasa tanpa izin suaminya.
Imam al-Bukhari dan Muslim sama-sama meriwayatkan sebuah hadis yang diambil dari Abu Hurairah dalam kitab Shahih mereka. Hadis tersebut berbunyi:
لاَ تَصُومُ المَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Janganlah seorang wanita (istri) berpuasa padahal suaminya sedang ada (di rumah), kecuali dengan seizinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Masih banyak orang yang membaca hadis secara tekstual. Terhadap kasus ini, banyak yang memahami bahwa seorang istri harus mendapatkan izin dari suaminya terlebih dahulu jika hendak berpuasa, mengingat gerak-gerik istri berada dalam pengawasan suami.
Salah seorang cendikiawan muslim yang bernama Zakaria Ouzon bahkan menolak hadis di atas dengan alasan tidak mencerminkan sifat Nabi. Baginya, hadis tersebut mendudukkan perempuan di kelas kedua di bawah laki-laki. Setiap gerak perempuan, bahkan dalam hal ibadah, menurutnya, harus berdasarkan izin suami yang membuat perempuan terkekang. Padahal, Islam dan Nabi menjunjung tinggi martabat perempuan.
Sayangnya Ouzon tidak mengerti maksud hadis di atas. Padahal, Imam al-Bukhari dengan sangat jelas menyebutkan bahwa puasa yang dimaksud adalah puasa sunah. Dalam kitab Shahihnya beliau bahkan memberikan nama sub-bab hadis tersebut dengan “Bāb Shaum al-Mar’ah bi Idzni Zaujihā Tathawwu`an (Bab Puasa Tathawwu` Seorang Istri dengan Izin Suaminya).”
Ini kemudian dipertegas oleh para pen-syarah kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Ibnu Bathal, salah satu pensyarah Shahih al-Bukhari, mengutip pendapat al-Muhallab bahwa puasa yang seorang istri harus mendapatkan izin dari suaminya adalah puasa sunah, sebagaimana pendapat ulama. Jika puasa yang dikerjakan adalah puasa wajib, maka izin seorang suami tidak diperlukan.
Imam al-Nawawi dalam kitabnya al-Minhāj: Syarh Shahīh Muslim bin al-Hajjāj menerangkan bahwa larangan puasa sunah bagi istri dalam hadis di atas bersifat haram. Alasannya adalah bahwa seorang suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya. Hak ini sifatnya wajib untuk segera dilaksanakan oleh istrinya. Jika si istri sedang berpuasa sunah, tentu akan menghambat kewajibannya dalam memenuhi hak suami.
Salah seorang cendikiawan muslim kontemporer bernama Marwan al-Kurdi sedikit longgar dalam menganggapi hadis di atas. Menurutnya, ada dua syarat yang mengaruskan seorang istri mendapatkan izin dari suaminya untuk berpuasa: (1) puasanya sunah dan (2) suaminya berada di rumah serta sedang memiliki hajat terhadapnya.
Menurutnya, jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, misalnya si suami sedang di rumah tapi tidak memiliki hajat terhadap istrinya, maka berlaku mafhūm mukhālafah. Artinya, sang istri boleh berpuasa sunah meski tanpa izin suaminya.
Al-Kurdi memperkuat pendapatnya dengan mengutip sebuah hadis yang menceritakan Khuwailah binti Hakim yang berpakaian sangat lusuh. Aisyah menerangkan kepada Nabi bahwa Khuwailah tidak memperhatikan penampilannya dikarenakan sang suami, yaitu Utsman bin Maz`un, selalu berpuasa sunah dan melaksanakan salat malam, sehingga tidak memiliki waktu untuknya. Karenanya, Khuwailah merasa tidak perlu berhias diri untuk menyenangkan sang suami.
Mendengar penjelasan Aisyah, Nabi pun mengingatkan Utsman bin Maz`untuk agar tidak berlebihan dalam ibadah. Nabi bersabda, “… maka berpuasa dan berbukalah, salat malam dan tidurlah.” (HR. Ahmad).
Al-Kurdi juga menambahkan sabab al-wurūd hadis riwayat Ahmad di atas. Menurutnya, pada masa Nabi Muhammad saw. juga banyak perempuan yang berlebihan dalam beribadah, sehingga cenderung mengabaikan suaminya. Karenanya, Rasulullah memperingatkan agar suami-istri harus dapat menjaga hubungan rumah tangga mereka agar tetap harmonis.
Karena bagaimana pun, manusia tidak hanya berinteraksi dengan Tuhannya, tetapi juga pada sesama manusia, terlebih kepada keluarganya. Dalam konteks ini, beribadah secara berlebihan cenderung membuat seseorang lupa akan sisi kemanusiannya. Jika pemahaman ini kita terapkan dalam konteks masyarakat Indonesia, maka setiap istri perlu melihat kebiasaan suaminya; apakah ketika berada di rumah sang suami memiliki hajat terhadapnya atau tidak. Jika si suami sering memiliki hajat, maka si istri wajib untuk meminta izin kepadanya jika hendak melaksanakan puasa sunah. Dan jika tidak, apalagi suaminya tidak sedang di rumah, maka izin tidak menjadi syarat wajib baginya.
Discussion about this post